Sabtu, 25 September 2010

serial hukum islam

Oleh Denis Lail Hidayat

Seiring dengan tingkat kemajuan dan meningkatkan kebutuhan manusia terhadap segala sesuatu, maka banyak pula usaha yang dilakukan oleh manusia dengan kemampuan yang dimiliki untuk menggali segala yang diciptakan Allah melalui penelitian, pengkajian dan lain-lain, sehingga hasilnya nanti dapat membantu manusia memecahkan persoalan hdup yang terus berkembang dalam segala aspek kehidupan.

Di antara berbagai macam persoalan yang seringkali menimpa manusia adalah persoalan kesehatan, makanan dan keuangan. Secara alami manusia selalu mencari cara agar dapat bertahan guna memenuhi kebutuhan tersebut, namun persoalanya adalah sejauh mana cara yang dilakukan manusia tersebut berguna dan bermanfaat bagi dirinya tanpa harus melakukan dan mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya persoalan hidup, akhirnya manusia berhadapan dengan jalan dimana mereka harus menentukan pilihan hidup. kemudian, manusia dituntut untuk mengambil sikap, jalan mana yang harus ditempuh.

Barkaitan dengan kompleksitas persoalan manusia tersebut, salah satu hal yang kemudian muncul dewasa ini adalah penggunaan benda-benda najis sebagai salah satu sarana bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup dan solusi dari kompleksitas persoalan yang dihadapi. Najis, merupakan benda yang diharamkan oleh Allah SWT, sebab benda najis adalah Sesuatu yang kotor yang wajib dibersihkan dan dicuci bila mengenai benda yang suci. Salah satunya adalah anjing, anjing dipandang sebagai najis, namun apakah ia juga diharamkan untuk memakannya?

I. Jenis-Jenis Najis

Mengenai macam-macam najis para ulama fikih membagi najis pada dua bagian yaitu najis hakiki atau najis aini dan najis hukmi. Adapun najis hakiki adalah bahwa najis itu terletak pada benda itu sendiri, seperti bangkai. Sedangkan najis hukmi adalah keadaan seseorang yang dianggap bernajis seperti seorang wanita yang sudah bersih dari haid tetapi belum mandi wajib (menurut ulama syafiiyah). Meskipun ulama fikih sepakat membagi najis menjadi dua bagian (najis hakiki dan najis hukmi), namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan pengertian najis hakiki dan najis hukmi tersebut.

Menurut ulama Syafiiyah, definisi najis hakiki adalah najis yang mempunyai zat (wujud), rasa, warna, dan bau dan mereka juga menamakannya dengan najis aini. Sedangkan najis hukmi adalah najis yang tidak mempunyai zat (wujud), rasa, warna dan bau, seperti air kencing yang sudah kering yang tidak bisa diketahui sifatnya. Dan membersihkannya cukup dengan menyiramnya satu kali siraman.

Ulama mazhab Hanafi mengatakan najis hakiki adalah najis yang bersifat hakikat (benda), seperti kotoran dan bangkai. Sedangkan najis hukmi adalah najis yang bersifat hukum atau keadaan seseorang dianggap bernajis, seperti seseoarang yang berhadas. Mengenai hal ini ibn abidin, salah seorang tokoh mazhab hanafi, mengatakan bahwa hadas merupakan najis hakiki secara hukum.

Ulama fikih Hanabilah memberikan pengertian najis hukmi sebagai najis yang mengena pada tempat yang sebelum kena najis ia suci. Oleh karena itu najis hukmi mencakup najis yang mempunyai zat dan yang tidak mempunyai zat, yaitu apabila najis itu melekat pada benda suci. Sedangkan najis hakiki adalah zat najis itu sendiri. Sementara itu ulama Malikiyyah berpendapat bahwa najis hukmi adalah hadas kecil dan hadas besar. Hadas menurut mereka adalah sifat syar’I yang mengenai sebagian anggota badan atau seluruhnya dan dapat dihilangkan lesicoam sedangkan najis hakiki adlah khubuts, yaitu segala sesuatu yang dianggap kotor oleh syara’.

Dalam redaksi lain, Wahbah al-Zuhaili mengemukakan pengertian najis hakiki dan najis hukmi tersebut. Menurutnya najis hakiki adalah segala kotoran yang menghalangi keabsahan shalat. Sedangkan najis hukmi adalah sesuatu yang dianggap najis yang terdapat pada anggota tubuh (badan) yang menghalangi sahnya shalat termasuk di dalamnya hadats kecil dan hadats besar.

Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa najis hakiki adalah segala kotoran yang mempunyai zat, rasa, warna dan dan bau yang menghalangi keabsahan shalat istilah ini juga dapat dinamakan Najis Lizatihi. Sedangkan najis hukmi adalah hadas kecil dan hadas besar, yaitu sifat syar’I yang mengenai sebahagian anggota badan atau seluruhnya dan dapat menghilangkan kesucian atau disebut Najis Lighairihi.

Disamping pembagian tersebut, fuqaha’ juga membagi najis dari segi berat ringannya. Sayfi’iyyah dan hanabilah membagi najis dari segi berat ringannya kepada tiga bagian, yaitu; (1) mughallazah (najis berat) (2) mukhafafah (najis ringan) dan (3) Muttawasitoh (najis pertengahan)

II. Kriteria Halal yang harus diperhatikan

Sesungguhnya, makanan atau pangan yang halal dimakan adalah makanan yang halaalan, thayyiban ditambah mubaarakan dan tidak terdiri dari najis atau bercampur najis Untuk mendapat makanan sebagaimana dimaksudkan di atas, paling kurang ada khamsu halaalaat yang harus diperhatikan, yaitu :

Pertama: Halal Zatnya. Dilihat dari sisi kehalalan zatnya, makanan yang dikonsumsikan manusia terbagi kepada 3 jenis, yaitu nabati, hayawani dan jenis olahan.

Kedua: Halal cara memperolehnya makanan yang halal zatnya untuk dapat dikonsumsikan, haruslah diperoleh secara halal pula. Karena meskipun makanan itu sudah halal zatnya, tapi kalau cara memperoleh haram, maka mengonsumsi makanan tersebut menjadi haram juga. Misalnya nasi yang secara ijmak ulama menyatakan halal untuk dimakan (halalzat-nya), tapi kalau nasi itu hasil curian, artinya cara memperoleh nasi itu adalah haram maka hukum menkonsumsinya menjdi haram juga.

Ketiga: Halal cara memrosesnya. Sebagaiman dimaklumi, binatang yang halal dimakan tidak dapat dimakan secara serta merta, tapi harus melalui proses penyembelihan, pengulitan dan sebagainya. Proses-proses ini harus halal pula. Penyembelihan kecuali ikan dan belalang, semua binatang yang halal dimakan harus disembelih.

Keempat: Halal Pada Penyimpanannya. Semua bahan makanan yang disimpan hendaklah disimpan pada tempat yang aman, seperti dalam lemari es, agar busuk dan tidak disimpan di dalam tempat yang dapat bercampur dengan najis, seperti tuak, atau benda haram lainnya. Dalam proses produksi tidak tercampur atau berdekatan atau menempel dengan barang atau bahan yang haram seperti najis dst.

Kelima: Halal penyajiannya. Dalam mengedarkan dan menyajikan makanan penyajinya haruslah bersih dari najis dan kotoran. Para supplier dan leveransir atau sales haruslah orang yang sehat dan berpakaian bersih dan suci. Alat kemas atau bungkus atau yang sejenisnya harus hygen, steril, bersih, suci dan halal. Perkakas atau alat hidangan seperti piring, mangkok dan sebagainyaharuslah suci, bersih dan halal.

III. Hukum Memakan Anjing

Makan daging anjing hukumnya adalah haram, ada dua alasan menunjukkan haramnya

  1. Anjing terhitung dari As-Siba’ (hewan buas), dan As-Siba’ termasuk hewan yang haram dimakan sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil yang sangat banyak.
  2. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Bukhary-Muslim beliau berkata (yang artinya):“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang dari harga anjing”.

Kalau harganya terlarang, maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam (yang artinya): “Sesungguhnya Allah kalau mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu maka (Allah) haramkan harganya atas mereka”. Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’iy dalam Musnadnya no.269, Ahmad dalam Musnadnya 1/247, 293 dan 322, Abu Daud no.3488, Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 2/281, Abu ‘Awanah dalam Musnadnya 3/371, Ibnu Hibban sebagiamana dalam Al- Ihsan no.4938, Ad-Daraquthny 3/7, Al-Baihaqy 6/13 dan 9/353, Ath-Thobarany no.12887, Al- Maqdasy dalam Al Mukhtarah 9/511, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.1475, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 9/44 dan 17/402-403 dan sanadnya shohih sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaj 2/204.

Selain yang ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an, Nabi Muhammad,SAW menetapkan juga beberapa makanan yang haram dikonsumsi melalu Sunnah/ Hadisnya. Misalnya Hadis yang diriwayatkan oleh imam Malik dari Abu Hurairah, nabi bersabda:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أكل كل ذي ناب من السباع وكل ذي مخلب من الطير
“Nabi mengharamkan setiap binatang buas yang punya taring dan setiap burung yang punya cakar”. .Berdasarkan hadis ini, maka harimau, singa, srigala, burung garuda, dan juga anjing haram dimakan.

IV. Najisnya Air Liur Anjing

Adapun dalil dari sunnah yang telah diterima semua ulama tentang najisnya air liur anjing adalah sebagai berikut:

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. (HR Bukhari 172, Muslim 279, 90).
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali.” Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan salahsatunya dengan tanah.” (HR Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)

Maka seluruh ulama sepakat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan levelnya najis yang berat (mughallazhah). Sebab untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah. Siapa yang menentang hukum ini, maka dia telah menentang Allah dan rasul-Nya. Sebab Allah SWT dan Rasulullah SAW telah menegaskan kenajisan air liur anjing itu.

V. Khilaf Dalam Penetapan Najisnya Tubuh Anjing

Seluruh ulama telah membaca hadits-hadits di atas, tentunya mereka semua sepakat bahwa air liur anjing itu najis berat. Namun yang disepakati adalah kenajisan air liurnya. Lalu bagaimana dengan kenajisan tubuh anjing, dalam hal ini umumnya ulama mengatakan bahwa karena air liur itu bersumber dari tubuh anjing, maka otomatis tubuhnya pun harus najis juga. Sangat tidak masuk akal kalau kita mengatakan bahwa wadah air yang kemasukan moncong anjing hukumnya jadi najis, sementara tubuh anjing sebagai tempat munculnya air liur itu kok malah tidak najis.

Namun telah diakui bahwa ada satu pendapat menyendiri yang mengatakan bahwa tubuh anjing itu tidak najis. Yang najis hanya air liurnya saja. Karena hadits-hadits itu hanya menyebut air liurnya saja, tidak menyebutkan bahwa badan anjing itu najis. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama kalangan mazhab Malikiyah. Meski kurang masuk akal, namun kita hormati pendapat mereka dengan alur logika berfikirnya.

Namun yang pasti, ulama kalangan mazhab Maliki tidak pernah menolak dalil dari sunnah nabawiyah. Mereka bukan ingkarussunnah yang hanya memakai Quran lalu kafir kepada hadits. Mereka adalah mazhab fiqih yang beraliran ahlussunnah wal jamaah juga.

Lebih dalam tentang bagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kenajisan anjing in]i, kibta bedah satu persatu sesuai apa yang[ terdapat dalam kitab-kitab fiqih rujukan utama.

a. Mazhab Al-Hanafiyah

Dalam mazhab ini sebagaimana yang kita dapat dikitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 64, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 63, disebutkan bahwa yang najis dari anjing ada tiga, yaitu: air liur, mulut dan kotorannya.

Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis. Kedudukannya sebagaimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfaat banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atau pun hewan untuk berburu. Mengapa demikian?

Sebab dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis.

b. Mazhab Al-Malikiyah

Seperti sudah disebutkan di atas, nazhab inimengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.

Tetapi karena dalil sunnah nabawiyah tidak menyebutkan najisnya tubuh anjing, maka logika fiqih mereka mengantarkan mereka kepada pendapat bahwa tubuh anjing tidak najis.

c. Mazhab As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah

Kedua mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga,air kencing, kotoran dan juga keringatnya.

Pendapat tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya antara lain:

Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya, kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua, beliau bersabda,”Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis.” (HR Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny).Dari hadits ini bisa dipahami bahwa kucing itu tidak najis, sedangkan anjing itu najis.

VI. Anjing Ashabul Kahfi(tambahan)

Kisah ashabul kafi yang menghuni gua dan memiliki anjing, sama sekali tidak ada kaitannya dengan hukum najisnya anjing. Ada dua alasan mengapa kami katakan demikian.

a. Pertama, mereka bukan umat nabi Muhammad SAW. Maka syariat yang turun kepada mereka tidak secara otomatis berlaku buat kita. Kecuali ada ketetapan hukum dari Rasulullah SAW.

b. Kedua, kisah itu sama sekali tidak memberikan informasi tentang hukum tubuh anjing, apakah najis atau tidak. Kisah itu hanya menceritakan bahwa di antara penghuni gua, salah satunya ada anjing.

Dan memelihara anjing dalam Islam tidak diharamkan, terutama bila digunakan untuk hal-hal yang berguna. Seperti untuk berburu, mencari jejak dan sebagainya. Bahkan kita dibolehkan memakan hewan hasil buruan anjing telah diajar. Al-Quran mengistilahkannya dengan sebutan: mukallab.

Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.(QS. Al-Maidah: 4)

Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan binatang buas yang telah diajar dengan melatihkan untuk berburu di dalam ayat ini adalah anjing pemburu. Tentu bekas gigitannya pada tubuh binatang buruan tidak boleh dimakan. Tapi selain itu, hukumnya boleh dimakan dan tidak perlu disembelih lagi.

Bahwa ada pendapat yang tidak menajiskan anjing, memang ada. Di antaranya adalah kalangan mazhab Malik yang dipelopori oleh pendirinya, al-Imam Malik rahimahullah.

Khusus dalam masalah kenajisan dan kehalalan hewan, mazhab ini boleh dibilang paling eksentrik. Sebab selain tidak menajiskan anjing, mereka pun tidak menajiskan babi. Tentu saja mereka punya segudang dalil dari Al-Quran dan As-sunnah yang rasanya sulit kita nafikan begitu saja. Meski kita tetap berhak untuk tidak sepakat.

Maksudnya, pendapat itu bukan mengada-ada atau asal-asalan. Tetapi lahir dari hasil ijtihad panjang para ulama sekaliber Imam Malik. Asal tahu saja, Imam Malik itu adalah guru Imam As-Syafi’i. Beliau adalah imam ulama Madinah, kota yang dahulu Rasulullah SAW pernah tinggal beserta dengan para shahabatnya.

Akan tetapi memang demikian dunia ilmu fiqih, meski pernah belajar kepada Imam Malik, namun Imam Asy-Syafi’i tidak merasa harus mengekor kepada semua pendapat gurunya itu. Dan kapasitas beliau sendiri memang sangat layak untuk berijtihad secara mutlak, sebagaimana sang guru. Dan hal itu diakui sendiri oleh sang guru, bahkan sang gurujustru sangat bangga punya anak didik yang bisa menjadi mujtahid mutlak serta mendirikan mazhab sendiri. Di mana tidak semua pendapat gurunya itu ditelan mentah-mentah.

Mazhab As-Syafi’i sendiri justru 180 derajat berbeda pandangan dalam masalah anjing dan babi. Buat mereka, anjing dan juga babi adalah hewan yang haram dimakan, sekaligus najis berat . Yang najis bukan hanya moncongnya saja sebagaimana bunyi teks hadits, melainkan semua bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. .

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah.

Dalam pandangan mazhab ini, meski hadits Rasulullah SAW hanya menyebutkan najisnya wadah air bila diminum anjing, namun kesimpulannya menjadi panjang.

Logika mereka demikian, kalau hadits menyebutkan bahwa wadah menjadi najis lantaran anjing meminum airnya, berarti karena air itu tercampur dengan air liur anjing. Maka buat mereka, najis dihasilkan oleh air liurnya. Jadi air liur anjing itu najis. Sementara air liur itu sendiri dihasilkan dari dalam perut anjing. Berarti isi perut anjing itu juga najis. Dan secara nalar, apapun yang keluar dari dalam perut atau tubuh anjing itu najis. Seperti air kencing, kotoran bahkan termasuk keringatnya.

Nalar seperti ini kalau dipikir-pikir benar juga. Sebab kalau air yang tadinya suci lalu diminum anjing bisa menjadi najis karena terkena air liur anjing, tidak logis kalau justru sumber najisnya malah dikatakan tidak najis. Betul, kan?

Jadi meski hadits itu tidak mengatakan bahwa tubuh anjing itu najis, tetapi logika dan nalar mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa tubuh anjing itu seharusnya sumber kenajisan.

KESIMPULAN

Telah dipaparkan dalam uraian bahwa dalam esentialnya daging adalah haram. Meskipun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa anjing boleh untuk dimakan namun jika dilihat dari tinjauan biologi saja dalam air liur anjing mengandung berbagai macam kuman penyakit,jika kita berpikir secara logis, maka bulu dan kulitnya akan terkena air liurnya,maka menjadi najis dan haramlah keseluruhannya.Selain itu telah banyak penelitian bahwa daging anjing adalah panas. Jika dilihat dari sisi mudharatnya akan membawa dampak psikologis kepada pemakannya yakni akan menjadi emosional dan ambisius.

Oleh karena itu kita ambil hikmah dari diharamkannya daging anjing untuk dikonsumsi dalam ranah islam. Karena Allah tidak menciptakan segalanya dengan sia-sia maka anjing difungsikan untuk berburu dsb, seperti yang terlihat pada kisah Ashabul Kahfi.

Semoga dengan adanya makalah ini, dapat membantu dalam keabstrakan yang selama ini muncul di masyarakat mengenai keharaman anjing (kalb).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar